Nahdlatul Ulama (NU), organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia, tengah diguncang prahara internal serius menyusul upaya segelintir faksi untuk memakzulkan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya). Penolakan keras Gus Yahya terhadap desakan mundur membuka tabir perseteruan yang lebih dalam, yang diyakini jurnalisme investigasi Berita Link bukan sekadar masalah administrasi, melainkan pertarungan sengit memperebutkan kendali politik dan aset organisasi menjelang horizon Pemilu 2029.
Duduk Perkara: Pasal Administrasi atau Tikaman Faksi?
Kisruh ini bermula dari kritik tajam, yang kemudian dimatangkan menjadi tuntutan pemakzulan, yang dilayangkan oleh kelompok internal yang mengklaim diri sebagai ‘penyelamat khittah NU’. Alasan formal yang diangkat adalah dugaan pelanggaran Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART), khususnya terkait pengambilan keputusan strategis tanpa melibatkan Rois Aam dan Syuriah secara utuh. Kelompok penentang menuding Gus Yahya terlalu dominan dan terlampau mendekatkan organisasi pada kepentingan politik praktis tertentu.
Namun, sumber investigasi jatim.co menunjukkan bahwa narasi pelanggaran AD/ART hanyalah pintu masuk. Konflik sebenarnya berakar pada kekecewaan faksi-faksi yang kalah dalam Muktamar sebelumnya, kini berusaha merebut kembali kendali lewat jalur non-prosedural. Gus Yahya, yang mendapat mandat penuh lima tahun, menegaskan penolakannya.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Saya mendapatkan mandat dari Muktamar untuk masa jabatan 5 tahun. Tidak ada mekanisme di AD/ART yang membolehkan sekelompok kecil menghentikan kepemimpinan ini. Ini adalah amanah jutaan Nahdliyin, bukan mainan politik. Kami akan menjaga khittah organisasi, dan itu termasuk menjaga kedaulatan hasil Muktamar,” tegas Gus Yahya dalam konferensi pers baru-baru ini.
Anatomi Faksi dan Taruhan Politik 2029
NU, dengan estimasi 80-100 juta pengikut, bukan hanya basis massa, tetapi juga mesin sosial-ekonomi yang masif. Organisasi ini mengelola ribuan pesantren, universitas, dan lembaga keuangan mikro yang tersebar luas. Kontrol atas PBNU berarti kontrol atas pengaruh politik, sosial, dan ekonomi yang tak ternilai harganya. Inilah yang menjadi taruhan utama.
Jatim.co menemukan adanya dua poros utama yang bergesekan: Poros Mandat Muktamar (mendukung Gus Yahya) dan Poros Rekonsiliasi Tertunda (kelompok penentang yang memiliki afiliasi kuat dengan tokoh-tokoh politik lama yang merasa terpinggirkan dari kebijakan PBNU saat ini).
Seorang sumber senior yang mengetahui dapur internal PBNU, berbicara dengan syarat anonimitas kepada jatim.co, ia mengungkapkan motif tersembunyi manuver pemakzulan.
“Ini bukan tentang Gus Yahya melanggar AD/ART. Ini tentang upaya sistematis untuk mengendalikan PBNU agar bisa ‘dijual’ menjelang Pemilu 2029. Faksi tertentu khawatir Gus Yahya terlalu independen dan tidak bisa diarahkan untuk mendukung kepentingan politik mereka. Mereka ingin menempatkan figur yang lebih kompromistis. Dana organisasi, yang nilainya fantastis, juga menjadi rebutan,” ujar Sumber.
Data menunjukkan, PBNU telah gencar melakukan konsolidasi aset dan program kemandirian ekonomi. Peningkatan transparansi ini justru menimbulkan gesekan, karena memotong jalur-jalur ‘kebiasaan’ lama yang sering dimanfaatkan faksi-faksi tertentu untuk keuntungan pribadi atau politik.
Konsekuensi Jangka Panjang: Stabilitas Keumatan Terancam
Jika konflik ini tidak segera diselesaikan melalui mekanisme internal yang sah dan dipimpin oleh Syuriah secara bijaksana, konsekuensinya bukan hanya pada kepemimpinan Gus Yahya, tetapi juga pada stabilitas keumatan dan citra NU sebagai penjaga moderasi beragama di Indonesia. Konflik terbuka berisiko menciptakan dualisme kepemimpinan di tingkat wilayah (PWNU) dan cabang (PCNU), yang pada akhirnya akan merugikan basis massa di akar rumput.
PBNU di bawah Gus Yahya kini berada di persimpangan jalan. Apakah organisasi akan tunduk pada tekanan faksi politik yang haus kekuasaan, ataukah ia berhasil mempertahankan independensinya sesuai dengan khittah 1926? Respons Gus Yahya yang menolak mundur mengindikasikan pertarungan ini masih panjang, dan implikasinya jauh melampaui batas kantor PBNU di Kramat Raya.
Editor : Tim






