Mengungkap Jaringan Korupsi Ekspor CPO Wilmar Group dan Penyitaan Uang Rp 11,8 Triliun

- Jurnalis

Rabu, 18 Juni 2025 - 16:38 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Skandal CPO dan Penyitaan Terbesar dalam Sejarah

Kasus korupsi yang melanda sektor crude palm oil (CPO) di Indonesia telah menjadi sorotan publik, khususnya dengan terungkapnya dugaan penyalahgunaan fasilitas ekspor CPO dan produk turunannya. Peristiwa ini terjadi pada periode kritis antara tahun 2021 dan 2022, sebuah masa di mana pemerintah Indonesia memberlakukan kebijakan krusial berupa larangan ekspor minyak sawit.

Kebijakan ini diterapkan dengan tujuan utama menstabilkan harga minyak goreng di pasar domestik, sebuah langkah vital untuk menjaga ketersediaan kebutuhan pokok masyarakat. Investigasi yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) kemudian mengungkap bahwa skandal ini tidak hanya melibatkan Wilmar Group, tetapi juga dua konglomerat besar lainnya di industri sawit, yaitu Permata Hijau Group dan Musim Mas Group. 

Keterlibatan beberapa pemain besar dalam industri ini secara bersamaan menunjukkan bahwa permasalahan yang terjadi kemungkinan besar bukan sekadar insiden terisolasi, melainkan indikasi adanya kelemahan struktural atau sistemik dalam tata kelola ekspor CPO nasional. Hal ini menimbulkan kekhawatiran serius mengenai kerentanan kebijakan ekonomi strategis terhadap praktik korupsi, terutama jika pengawasan dan penegakan hukum tidak berjalan secara ketat dan tanpa pandang bulu.

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Dalam perkembangan terbaru yang menggemparkan, Kejaksaan Agung berhasil melakukan penyitaan uang senilai Rp 11,8 triliun dari Wilmar Group. Jumlah fantastis ini merupakan bagian dari pelaksanaan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terkait kasus korupsi ekspor CPO dan produk turunannya.2 Penyitaan ini secara resmi dicatat sebagai yang terbesar dalam sejarah Kejaksaan Agung, menandai sebuah tonggak penting dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Untuk menggambarkan skala yang luar biasa dari jumlah uang ini, sebagian dari barang bukti, sekitar Rp 2 triliun dari total Rp 11,8 triliun, bahkan secara publik ditampilkan.

Tumpukan uang pecahan Rp 100.000 tersebut meninggi hingga memenuhi setengah ruangan Gedung Bundar Jampidsus dan tingginya melebihi kepala para penyidik yang menanganinya. Angka presisi sebesar Rp 11.880.351.802.619 ini bukan angka sembarangan; ia merupakan hasil perhitungan komprehensif atas kerugian negara yang dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) bekerja sama dengan ahli dari Universitas Gadjah Mada (UGM). Perhitungan kerugian ini tidak hanya terbatas pada kerugian keuangan negara secara langsung, tetapi juga mencakup

illegal gain (keuntungan ilegal yang diperoleh dari praktik korupsi) dan kerugian perekonomian negara yang lebih luas akibat dampak dari tindakan korupsi tersebut. Keberhasilan penyitaan ini diharapkan dapat menjadi momentum krusial untuk memperkuat tata kelola pemerintahan yang bersih dan akuntabel, serta meningkatkan kepercayaan publik dan investor terhadap iklim penegakan hukum yang adil dan transparan di Indonesia.

 

  1. Kronologi Peristiwa Korupsi dan Proses Hukum

Awal Mula Dugaan Korupsi (Periode 2021-2022)

Dugaan korupsi dalam pemberian fasilitas ekspor CPO dan produk turunannya di industri kelapa sawit mulai terkuak dan pengusutan kasus ini secara resmi dimulai sejak tahun 2022. Waktu terjadinya dugaan korupsi ini sangatlah signifikan, mengingat pada periode tersebut pemerintah Indonesia sedang memberlakukan kebijakan larangan ekspor minyak sawit. Kebijakan ini merupakan respons terhadap krisis kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng di pasar domestik, dengan tujuan vital untuk menstabilkan pasokan dan harga di dalam negeri. Adanya praktik korupsi di tengah kebijakan krusial ini menunjukkan bahwa intervensi pemerintah yang dimaksudkan untuk mengatasi krisis justru menciptakan celah baru yang dieksploitasi untuk keuntungan ilegal. Larangan ekspor secara inheren meningkatkan nilai izin ekspor, menjadikannya target empuk bagi manipulasi dan korupsi. Ini adalah contoh nyata bagaimana kebijakan pasar yang tidak sempurna dapat menciptakan peluang rent-seeking yang merugikan kepentingan publik.

Pengusutan Kasus oleh Kejaksaan Agung (Sejak 2022)

Kejaksaan Agung memulai pengusutan intensif kasus ini sejak tahun 2022. Pada tahap awal penyelidikan, Kejagung menetapkan lima orang sebagai tersangka. Di antara mereka adalah Indrasari Wisnu Wardhana, yang menjabat sebagai Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, serta perwakilan dari Wilmar, Permata Hijau, dan Musim Mas. Fokus awal penyelidikan pada kolusi antara pejabat pemerintah dan pihak swasta dalam penerbitan izin ekspor adalah pendekatan yang logis. Namun, fakta bahwa kasus ini kemudian berkembang hingga melibatkan aparat peradilan, seperti yang akan dijelaskan lebih lanjut, mengindikasikan bahwa Kejagung menemukan lapisan korupsi yang lebih dalam dan sistemik, melampaui sekadar manipulasi izin ekspor. Perkembangan ini menunjukkan kemampuan adaptasi Kejagung dalam mengungkap jaringan korupsi yang terus berkembang, dari manipulasi regulasi hingga upaya subversi proses peradilan.

Putusan Pengadilan Tingkat Pertama (Vonis “Ontslag” Maret 2024)

Pada tanggal 19 Maret 2024, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat menjatuhkan vonis ontslag van alle rechtvervolging, yang berarti “perbuatan bukan tindak pidana”, terhadap Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group. Meskipun majelis hakim menyatakan bahwa perbuatan para terdakwa terbukti secara hukum, mereka memutuskan bahwa tindakan tersebut tidak memenuhi unsur tindak pidana. Putusan ini sangat kontroversial, terutama mengingat tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menuntut denda dan uang pengganti dalam jumlah fantastis. Vonis “ontslag” di tengah bukti perbuatan yang terbukti adalah putusan yang sangat tidak biasa dan segera menimbulkan kecurigaan serius, khususnya dalam kasus korupsi berskala besar.

Hal ini menciptakan kontradiksi mencolok dengan tuntutan jaksa dan menjadi indikasi kuat adanya intervensi eksternal atau manipulasi hukum, yang kemudian terkonfirmasi dengan penangkapan hakim. Putusan kontroversial ini menjadi titik balik krusial, secara implisit mengindikasikan adanya upaya sistematis untuk membebaskan korporasi dari jerat hukum, yang kemudian terbukti melalui skema suap.

Penangkapan Hakim Terkait Dugaan Suap (April 2025)

Pada pertengahan April 2025, Kejaksaan Agung melakukan penangkapan terhadap empat hakim yang diduga menerima suap sebesar Rp 60 miliar terkait putusan ontslag tersebut. Para hakim yang ditetapkan sebagai tersangka adalah Muhammad Arif Nuryanta (Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, yang sebelumnya menjabat sebagai Wakil Ketua PN Jakarta Pusat), Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom. Selain itu, Muhammad Syafei, yang menjabat sebagai Social Security Legal Wilmar Group, ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap dalam skema ini. Penangkapan hakim secara langsung terkait dengan putusan kontroversial sebelumnya menunjukkan tingkat penetrasi korupsi yang mengkhawatirkan ke dalam sistem peradilan. Keterlibatan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengindikasikan bahwa korupsi ini tidak hanya melibatkan individu, tetapi mungkin juga memanfaatkan posisi strategis dalam struktur peradilan untuk memuluskan praktik ilegal. Ini adalah bentuk “judicial capture” yang sangat serius, yang merusak kepercayaan publik terhadap integritas peradilan dan menyoroti celah dalam sistem hukum yang dapat dieksploitasi oleh pihak-pihak berkuasa untuk menghindari konsekuensi hukum.

Pengajuan Kasasi oleh Kejaksaan Agung dan Proses di MA

Menanggapi putusan ontslag yang kontroversial tersebut, Kejaksaan Agung dengan sigap mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Sebagai bagian dari strategi hukum yang cermat, uang sitaan sebesar Rp 11,8 triliun dari Wilmar Group secara strategis dimasukkan sebagai bagian tak terpisahkan dari memori kasasi Kejagung. Tujuan dari langkah ini adalah agar keberadaan uang tersebut dapat dipertimbangkan secara kuat oleh Hakim Agung yang memeriksa kasasi, khususnya agar uang tersebut dapat dikompensasikan untuk membayar seluruh kerugian negara yang ditimbulkan akibat perbuatan korupsi para terdakwa korporasi. Tindakan ini menunjukkan pendekatan proaktif Kejagung untuk memperkuat argumen hukumnya di Mahkamah Agung dan memastikan akuntabilitas finansial korporasi.

Kejagung berharap penyitaan uang ini akan secara signifikan memperkuat kasus penuntutan di tingkat kasasi dan memastikan pemulihan kerugian negara secara penuh. Kasus ini menjadi ujian penting bagi Mahkamah Agung dalam menegakkan keadilan dan integritas peradilan, dengan implikasi signifikan terhadap bagaimana kasus korupsi korporasi besar akan ditangani di masa depan.

Penyitaan Uang Rp 11,8 Triliun (Juni 2025)

Penyitaan uang secara fisik dilakukan pada Selasa, 17 Juni 2025. Uang tersebut merupakan pengembalian dari lima perusahaan yang tergabung dalam Wilmar Group, yaitu PT Multimas Nabati Asahan, PT Multinabati Sulawesi, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, dan PT Wilmar Nabati Indonesia. Meskipun Wilmar Group secara terbuka mengklaim bahwa tindakan mereka dalam kasus izin ekspor CPO dilakukan “sesuai dengan peraturan yang berlaku” dan “bebas dari niat korupsi,” mereka tetap mengembalikan uang tersebut. Tindakan Wilmar Group mengembalikan uang miliaran rupiah sambil tetap mengklaim tidak bersalah adalah strategi yang kompleks. Ini dapat diinterpretasikan sebagai upaya untuk menunjukkan itikad baik, mengurangi potensi hukuman yang lebih berat, atau bahkan mempengaruhi opini publik dan proses kasasi. Uang yang dikembalikan ini langsung disita oleh penyidik dan dimasukkan ke rekening penampungan Jampidsus.

Pengembalian dana oleh Wilmar Group, terlepas dari klaim ketidakbersalahan, menunjukkan respons strategis terhadap tekanan hukum yang intens dan berpotensi menjadi model bagi korporasi lain yang terlibat dalam kasus serupa. Kasus ini dapat menjadi preseden penting bagi pemulihan aset dalam kasus korupsi korporasi di Indonesia, mendorong perusahaan lain untuk mengembalikan kerugian negara demi menghindari konsekuensi hukum yang lebih parah.

III. Pihak-Pihak yang Terlibat dalam Jaring Korupsi

Kasus korupsi ekspor CPO ini melibatkan jaringan kompleks aktor dari berbagai sektor, mulai dari korporasi besar, pejabat pemerintah, hingga aparat peradilan. Keterlibatan multi-lapisan ini menunjukkan sifat sistemik dari praktik korupsi yang merusak tata kelola.

Korporasi Terdakwa:

Tiga grup korporasi raksasa, yaitu Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group, menjadi pusat dari dugaan korupsi ini.

  • Wilmar Group:
    Lima entitas usaha di bawah Wilmar Group menjadi sumber utama dana sitaan Rp 11,8 triliun. Perusahaan-perusahaan tersebut adalah PT Multimas Nabati Asahan, PT Multinabati Sulawesi, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, dan PT Wilmar Nabati Indonesia. Dalam dakwaan jaksa pada tahun 2022, Grup Wilmar disebut diperkaya sebesar Rp 1.693.219.882.064 dalam kasus korupsi minyak goreng.
  • Rincian per anak perusahaan adalah: PT Wilmar Nabati Indonesia (Rp 1.048.346.290.275), PT Multimas Nabati Asahan (Rp 562.846.062.900), PT Sinar Alam Permai (Rp 68.436.065.206), PT Multi Nabati Sulawesi (Rp 5.353.905.181), dan PT Wilmar Bio Energi Indonesia (Rp 8.237.558.502). Tuntutan JPU untuk uang pengganti dari Wilmar Group adalah Rp 11.880.351.802.619.11 Perbedaan signifikan antara jumlah yang “diperkaya” pada tahun 2022 dan “uang pengganti tuntutan JPU” yang disita pada tahun 2025 menunjukkan bahwa perhitungan kerugian negara telah diperluas secara signifikan, kemungkinan besar mencakup komponen
    illegal gain dan kerugian perekonomian negara yang tidak sepenuhnya terkuantifikasi pada tahap awal penyelidikan.
  • Korporasi Lain yang Terlibat:
  • Permata Hijau Group: Terdiri dari beberapa entitas seperti PT Nagamas Palmoil Lestari dan PT Permata Hijau Sawit. Grup ini disebut diperkaya sebesar Rp 124.418.318.216.29 Tuntutan JPU untuk uang pengganti adalah Rp 937.558.181.691,26. Kejagung berharap Permata Hijau Group akan mengikuti jejak Wilmar Group dalam mengembalikan kerugian negara.
  • Musim Mas Group: Terdiri dari tujuh entitas, termasuk PT Musim Mas dan PT Mikie Oleo Nabati Industri. Grup ini disebut diperkaya sebesar Rp 626.630.516.604.29 Tuntutan JPU untuk uang pengganti adalah Rp 4.890.938.943.794,10. Kejagung juga berharap Musim Mas Group akan mengikuti Wilmar Group dalam mengembalikan dana kerugian negara.

Keterlibatan tiga grup raksasa ini menunjukkan bahwa korupsi ini bukan anomali, melainkan mungkin mencerminkan pola dalam industri. Ini menyoroti perlunya pengawasan ketat terhadap konglomerasi besar di sektor strategis dan pentingnya metodologi perhitungan kerugian negara yang holistik untuk memastikan pemulihan penuh dan keadilan.

Individu Tersangka:

Kasus ini telah menyeret sejumlah individu dari berbagai latar belakang ke meja hijau, menunjukkan kolusi multi-lapisan yang melibatkan berbagai profesi.

  • Pejabat Korporasi:
  • Muhammad Syafei (MSY): Menjabat sebagai Social Security Legal Wilmar Group. Perannya sangat sentral, diduga sebagai pemberi suap kepada aparat peradilan untuk mendapatkan vonis lepas bagi terdakwa korporasi. Ia menyetujui dan menyiapkan uang suap sebesar Rp 60 miliar. Peran “Social Security Legal” dalam memfasilitasi suap mengindikasikan bahwa praktik ilegal ini mungkin terintegrasi ke dalam operasi korporasi.
  • Master Parulian Tumanggor: Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia.18 Diduga mengajukan permohonan izin persetujuan ekspor (PE) tanpa memenuhi syarat distribusi kebutuhan dalam negeri (DMO).
  • Stanley MA: Senior Manager Corporate Affair Permata Hijau Grup (PHG).18 Berkomunikasi intensif dengan IWW terkait penerbitan PE Permata Hijau Group dan mengajukan PE tanpa memenuhi syarat DMO.
  • Picare Tagore Sitanggang: Berkomunikasi intensif dengan IWW terkait penerbitan PE PT Musim Mas dan mengajukan PE tanpa memenuhi syarat DMO.
  • Tenang Parulian: Direktur Wilmar. Asetnya dapat disita jika uang pengganti tidak dibayar, dan terancam hukuman penjara 19 tahun.
  • David Virgo: Pengendali lima entitas dalam Permata Hijau Group. Asetnya dapat disita jika uang pengganti tidak dibayar, dan terancam hukuman penjara 12 bulan.
  • Gunawan Siregar: Direktur Utama Musim Mas. Asetnya dapat disita jika uang pengganti tidak dibayar, dan terancam hukuman penjara 15 tahun.
  • Aparat Peradilan:
  • Muhammad Arif Nuryanta (MAN): Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (sebelumnya Wakil Ketua PN Jakarta Pusat). Diduga menerima suap Rp 60 miliar dalam pengurusan perkara. Ia menyetujui permintaan Ariyanto untuk putusan
    ontslag dan menunjuk hakim majelis. Keterlibatan pejabat tinggi pengadilan ini mengindikasikan bahwa korupsi ini bukan hanya insiden terisolasi, melainkan penetrasi sistemik ke dalam administrasi dan pengambilan keputusan yudisial.
  • Wahyu Gunawan (WG): Panitera Muda Perdata PN Jakarta Utara. Diduga terlibat dalam proses suap dan penanganan perkara, berfungsi sebagai perantara komunikasi dan penerima uang suap.
  • Djuyamto (DJU): Ketua Majelis Hakim dalam perkara ekspor CPO. Diduga menerima suap sebesar Rp 6 miliar (dalam dolar) agar menjatuhkan vonis
    ontslag.
  • Agam Syarif Baharuddin (ASB): Anggota Majelis Hakim.14 Diduga menerima suap sebesar Rp 4,5 miliar (dalam dolar).
  • Ali Muhtarom (AM): Anggota Majelis Hakim.14 Diduga menerima suap sebesar Rp 5 miliar (dalam dolar).
  • Pihak Lain:
  • Marcella Santoso (MS): Kuasa hukum korporasi. Diduga berperan dalam pengaturan jalur hukum perkara korporasi dan sebagai perantara suap.
  • Ariyanto Bakri (AR): Kuasa hukum korporasi. Terlibat dalam upaya hukum korporasi yang berujung pada vonis lepas dan sebagai perantara suap.
  • Lin Che Wei: Penasihat Kebijakan dan Analisis pada Independent Research & Advisory Indonesia. Diduga sering mengikuti rapat-rapat penting di Kemendag tanpa status jelas.
  • Pejabat Pemerintah:
  • Indra Sari Wisnu Wardhana (IWW): Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Dirjen Daglu Kemendag). Didakwa merugikan negara dan memperkaya korporasi; berkomunikasi intensif dengan bos perusahaan yang menjadi tersangka. Keterlibatan Dirjen Kemendag menunjukkan kegagalan dalam pengawasan regulasi, sementara keterlibatan hakim menunjukkan rusaknya benteng terakhir keadilan.

 

Daftar panjang individu yang terlibat, mulai dari eksekutif korporasi, pengacara, pejabat pengadilan, hingga pejabat pemerintah, secara jelas menunjukkan sebuah jaringan korupsi yang kompleks dan terorganisir. Ini bukan sekadar tindakan individu, melainkan kolusi multi-lapisan yang melibatkan berbagai profesi. Kasus ini mengungkap adanya kegagalan sistemik dalam tata kelola, yang memungkinkan korupsi merajalela di berbagai tingkatan, dari pembuatan kebijakan hingga penegakan hukum. Hal ini menuntut pendekatan multi-sektoral dalam pemberantasan korupsi, termasuk penguatan tata kelola perusahaan, peningkatan integritas yudisial, dan reformasi lembaga pemerintah untuk mencegah kolusi yang merusak kepentingan publik.

Tabel 1: Pihak Terlibat dan Peran Kunci dalam Skandal Korupsi CPO Wilmar Group

Pihak Yang Terlibat dan Peran Kunci dalam Skandal Korupsi CPO Wilmar Group.

Kategori

Nama/Entitas Jabatan/Afiliasi Peran Kunci dalam Kasus

Status Hukum

Korporasi Terdakwa Wilmar Group (5 entitas) Konglomerat Sawit Diduga korupsi fasilitas ekspor CPO, diperkaya Rp 1.69 T (awal), dituntut uang pengganti Rp 11.88 T Terdakwa Korporasi
Permata Hijau Group Konglomerat Sawit Diduga korupsi fasilitas ekspor CPO, diperkaya Rp 124 M (awal), dituntut uang pengganti Rp 937.5 M Terdakwa Korporasi
Musim Mas Group Konglomerat Sawit Diduga korupsi fasilitas ekspor CPO, diperkaya Rp 626 M (awal), dituntut uang pengganti Rp 4.89 T Terdakwa Korporasi
Individu – Pejabat Korporasi Muhammad Syafei (MSY) Social Security Legal Wilmar Group Pemberi suap Rp 60 M untuk vonis lepas korporasi Tersangka
Master Parulian Tumanggor Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia Mengajukan PE tanpa memenuhi syarat DMO Tersangka
Stanley MA Senior Manager Corporate Affair Permata Hijau Grup Berkomunikasi intensif dengan IWW, mengajukan PE tanpa DMO Tersangka
Picare Tagore Sitanggang Berkomunikasi intensif dengan IWW, mengajukan PE tanpa DMO Tersangka
Tenang Parulian Direktur Wilmar Aset dapat disita jika uang pengganti tidak dibayar, terancam 19 tahun penjara Terkait Tuntutan
David Virgo Pengendali 5 entitas Permata Hijau Group Aset dapat disita jika uang pengganti tidak dibayar, terancam 12 bulan penjara Terkait Tuntutan
Gunawan Siregar Dirut Musim Mas Aset dapat disita jika uang pengganti tidak dibayar, terancam 15 tahun penjara Terkait Tuntutan
Individu – Aparat Peradilan Muhammad Arif Nuryanta (MAN) Ketua PN Jakarta Selatan (eks Wakil Ketua PN Jakarta Pusat) Penerima suap Rp 60 M, menyetujui vonis ontslag, menunjuk hakim majelis Tersangka
Wahyu Gunawan (WG) Panitera Muda Perdata PN Jakarta Utara Perantara suap, terlibat penanganan perkara Tersangka
Djuyamto (DJU) Ketua Majelis Hakim perkara ekspor CPO Penerima suap Rp 6 M (dalam dolar) untuk vonis ontslag Tersangka
Agam Syarif Baharuddin (ASB) Anggota Majelis Hakim Penerima suap Rp 4,5 M (dalam dolar) untuk vonis ontslag Tersangka
Ali Muhtarom (AM) Anggota Majelis Hakim Penerima suap Rp 5 M (dalam dolar) untuk vonis ontslag Tersangka
Individu – Pihak Lain Marcella Santoso (MS) Kuasa hukum korporasi Pengaturan jalur hukum perkara korporasi, perantara suap Tersangka
Ariyanto Bakri (AR) Kuasa hukum korporasi Terlibat upaya hukum vonis lepas, perantara suap Tersangka
Lin Che Wei Penasihat Kebijakan dan Analisis Independent Research & Advisory Indonesia Diduga sering ikut rapat Kemendag tanpa status jelas Tersangka
Individu – Pejabat Pemerintah Indra Sari Wisnu Wardhana (IWW) Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag Didakwa rugikan negara & perkaya korporasi, komunikasi intensif dengan bos perusahaan Tersangka
  1. Modus Operandi Korupsi Ekspor CPO dan Suap Peradilan

Pemberian Fasilitas Ekspor CPO Tanpa Memenuhi Syarat (Manipulasi DMO):

Modus operandi utama dalam kasus korupsi ekspor CPO ini berpusat pada dugaan penyimpangan dalam pengurusan izin ekspor CPO. Penyimpangan ini terjadi pada saat pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan larangan ekspor minyak sawit, sebuah langkah yang diambil untuk menstabilkan harga di pasar domestik. Dalam praktiknya, terjadi permufakatan antara pihak pemohon izin (korporasi) dan pihak pemberi izin (pejabat pemerintah) untuk memuluskan fasilitas persetujuan ekspor. Persetujuan ekspor ini kemudian dikeluarkan kepada eksportir yang seharusnya ditolak karena tidak memenuhi syarat yang ditetapkan, khususnya kewajiban distribusi kebutuhan dalam negeri (DMO) sebesar 20%. Ini berarti perusahaan-perusahaan tersebut mendapatkan izin untuk mengekspor CPO tanpa terlebih dahulu memenuhi kewajiban pasokan domestik mereka, sebuah tindakan yang secara langsung dapat memperparah kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng di dalam negeri.

Fakta yang semakin ironis adalah bahwa ketiga perusahaan yang tersangkut kasus korupsi PE CPO ini telah menjadi “langganan” dalam menerima dana dari negara, seperti insentif BPDPKS, sejak tahun 2015. Namun, mereka diduga tidak mendukung kebijakan Kementerian Perdagangan dengan tetap mengajukan Persetujuan Ekspor (PE) tanpa memenuhi syarat DMO. Perilaku ini bukan hanya pelanggaran regulasi, tetapi juga pengkhianatan terhadap tujuan kebijakan pemerintah untuk menstabilkan harga minyak goreng domestik, yang berpotensi memperburuk penderitaan masyarakat. Korupsi ini secara langsung mengeksploitasi dan merusak mekanisme kebijakan DMO yang krusial, menunjukkan kesediaan korporasi untuk mengorbankan stabilitas pasar domestik demi keuntungan ilegal. Hal ini menyoroti perlunya pengawasan yang lebih ketat terhadap kepatuhan DMO dan insentif yang diberikan kepada perusahaan besar, serta pentingnya sanksi yang tegas untuk mencegah praktik serupa di masa depan yang dapat mengancam ketahanan pangan dan ekonomi nasional.

Skema Suap untuk Vonis “Ontslag” (Rp 60 Miliar):

Setelah Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Wilmar Group dan korporasi lain dengan denda dan uang pengganti yang besar, majelis hakim justru memvonis ontslag (perbuatan bukan tindak pidana).6 Putusan ini memicu kecurigaan yang kuat, dan kemudian terbukti melibatkan skema suap yang terorganisir.

  • Peran Muhammad Syafei sebagai Pemberi Suap: Muhammad Syafei (MSY), yang menjabat sebagai Social Security Legal Wilmar Group, diduga menjadi inisiator dan penyedia dana suap untuk mendapatkan vonis lepas bagi korporasi. MSY menyetujui dan menyiapkan uang sebesar Rp 60 miliar untuk suap. Awalnya, MSY menyatakan pihak korporasi menyiapkan Rp 20 miliar untuk putusan bebas, namun kemudian jumlah tersebut disetujui menjadi Rp 60 miliar setelah melalui negosiasi. Uang tersebut bahkan disiapkan dalam bentuk dolar AS atau dolar Singapura, menunjukkan tingkat kecanggihan dalam transaksi ilegal ini.
  • Peran Kuasa Hukum (Marcella Santoso, Ariyanto Bakri) sebagai Perantara: Skema suap ini dimulai dengan pertemuan antara Ariyanto Bakri, salah satu kuasa hukum korporasi, dan Wahyu Gunawan, Panitera Muda Perdata PN Jakarta Utara. Dalam pertemuan tersebut, Wahyu Gunawan menyatakan bahwa kasus ini perlu “diurus” dan meminta Ariyanto untuk menyiapkan dana. Ariyanto kemudian menyampaikan informasi ini kepada Marcella Santoso, kuasa hukum lain, yang selanjutnya bertemu dengan Muhammad Syafei. Marcella memberitahu Syafei bahwa kasus ini bisa ditangani dan Wahyu siap membantu. Setelah negosiasi jumlah suap, Ariyanto menerima uang dari Muhammad Syafei di area parkir SCBD dan kemudian menyerahkannya ke rumah Wahyu Gunawan.
  • Peran Aparat Peradilan (Muhammad Arif Nuryanta, Wahyu Gunawan, Hakim Majelis) sebagai Penerima Suap: Wahyu Gunawan kemudian menghubungi Ariyanto lagi, mendesak percepatan “pengurusan” kasus. Pertemuan krusial terjadi antara Wahyu Gunawan, Ariyanto, dan Muhammad Arif Nuryanta, yang pada saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua PN Jakarta Pusat, di sebuah restoran di Kelapa Gading. Dalam pertemuan ini, Muhammad Arif Nuryanta secara eksplisit menyatakan bahwa putusan
    ontslag dapat dicapai, namun menuntut biaya sebesar Rp 60 miliar. Setelah penyerahan uang, Muhammad Arif Nuryanta memberikan 50.000 USD kepada Wahyu Gunawan sebagai bagian dari kesepakatan. Lebih lanjut, tiga hakim majelis yang menangani perkara (Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom) diduga menerima suap dengan total Rp 22,5 miliar (Djuyamto menerima Rp 6 M, Ali Muhtarom Rp 5 M, dan Agam Syarif Baharuddin Rp 4,5 M) untuk menjatuhkan vonis
    ontslag.14

Rincian kronologi skema suap ini menunjukkan tingkat kecanggihan yang mengkhawatirkan, melibatkan banyak perantara, negosiasi jumlah, dan penggunaan mata uang asing. Peningkatan jumlah suap dari Rp 20 miliar menjadi Rp 60 miliar mencerminkan tingginya nilai vonis lepas bagi korporasi. Keterlibatan panitera dan pejabat tinggi pengadilan (Ketua/Wakil Ketua PN) dalam memfasilitasi suap menunjukkan bahwa korupsi ini bukan hanya insiden terisolasi, melainkan penetrasi sistemik ke dalam administrasi dan pengambilan keputusan yudisial. Skema suap ini adalah operasi yang terencana dengan cermat, melibatkan kolusi antara eksekutif korporasi, pengacara, dan aparat peradilan, yang secara efektif menyubversifkan proses hukum demi keuntungan ilegal. Hal ini mengungkap kerentanan serius dalam sistem peradilan Indonesia terhadap pengaruh eksternal, khususnya dari entitas korporasi yang kuat, dan menegaskan kebutuhan mendesak untuk reformasi yudisial yang komprehensif guna menjaga independensi dan integritas hakim.

 

Tabel 2: Aliran Dana Suap (Rp 60 Miliar) dalam Kasus Ekspor CPO Wilmar Group

 

Tahap Pihak Pemberi Pihak Perantara Pihak Penerima

Jumlah/Keterangan

Permintaan Awal Wahyu Gunawan Ariyanto Bakri Kasus perlu “diurus”, siapkan dana
Negosiasi Awal Muhammad Syafei (Wilmar Group) Marcella Santoso, Ariyanto Bakri Wahyu Gunawan Rp 20 Miliar (awal), kemudian disetujui Rp 60 Miliar
Penyerahan Dana ke Perantara Muhammad Syafei (Wilmar Group) Ariyanto Bakri Rp 60 Miliar (diserahkan di parkiran SCBD)
Penyerahan Dana ke Pejabat Pengadilan Ariyanto Bakri Wahyu Gunawan Muhammad Arif Nuryanta Rp 60 Miliar (diserahkan di rumah WG)
Pembagian ke Hakim Majelis Muhammad Arif Nuryanta Djuyamto Rp 6 Miliar (dalam dolar)
Muhammad Arif Nuryanta Ali Muhtarom Rp 5 Miliar (dalam dolar)
Muhammad Arif Nuryanta Agam Syarif Baharuddin Rp 4,5 Miliar (dalam dolar)
Pembagian ke Panitera Muhammad Arif Nuryanta Wahyu Gunawan 50.000 USD
  1. Penyitaan Uang Rp 11,8 Triliun: Detail dan Dasar Hukum

Penyitaan uang sebesar Rp 11,8 triliun oleh Kejaksaan Agung dari Wilmar Group merupakan salah satu tindakan pemulihan aset terbesar dalam sejarah penegakan hukum di Indonesia. Jumlah total uang yang disita adalah Rp 11.880.351.802.619. Dana ini berasal dari lima anak perusahaan Wilmar Group yang terlibat dalam kasus ini, dengan rincian sebagai berikut:

  • PT Multimas Nabati Asahan: Rp 3.997.042.917.832,42
  • PT Multi Nabati Sulawesi: Rp 39.756.429.964,94
  • PT Sinar Alam Permai: Rp 483.961.045.417,33
  • PT Wilmar Bioenergi Indonesia: Rp 57.303.038.077,64
  • PT Wilmar Nabati Indonesia: Rp 7.302.288.371.326,78

Perbandingan antara jumlah yang “diperkaya” oleh Wilmar Group dalam dakwaan awal (sekitar Rp 1,69 triliun pada Agustus 2022 29) dengan jumlah uang pengganti/sitaan yang jauh lebih besar (Rp 11,88 triliun pada Juni 2025) menunjukkan peningkatan yang sangat signifikan dalam estimasi kerugian negara. Peningkatan drastis ini mengindikasikan bahwa perhitungan kerugian telah diperluas secara komprehensif, kemungkinan besar mencakup komponen

illegal gain (keuntungan ilegal yang diperoleh pelaku) dan kerugian perekonomian negara (dampak lebih luas pada ekonomi) yang disebutkan dalam sumber. Hal ini menunjukkan pendekatan yang lebih holistik dalam menilai dampak korupsi, melampaui kerugian finansial langsung. Pendekatan ini menetapkan standar baru bagi perhitungan kerugian negara dalam kasus korupsi, menekankan bahwa dampak ekonomi yang lebih luas dan keuntungan ilegal juga akan diperhitungkan secara serius, yang dapat berdampak pada tuntutan di masa depan.

Dasar Hukum Penyitaan:

Penyitaan dana ini didasarkan pada dugaan pelanggaran Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), serta Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal-pasal ini secara spesifik berkaitan dengan tindakan yang memperkaya diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, yang pada akhirnya mengakibatkan kerugian keuangan negara. Penegasan dasar hukum penyitaan ini menunjukkan bahwa tindakan Kejaksaan Agung bukan semata-mata tindakan paksa, melainkan didukung oleh kerangka hukum yang jelas dan kuat. Ini penting untuk kredibilitas proses hukum dan untuk mengirimkan pesan bahwa korupsi akan ditindak berdasarkan undang-undang yang berlaku. Penyitaan ini didukung oleh dasar hukum yang kuat, menunjukkan keseriusan dan kapasitas negara dalam menindak korupsi dan memulihkan aset ilegal. Hal ini memperkuat posisi hukum Indonesia dalam memerangi kejahatan ekonomi dan dapat menjadi sinyal bagi korporasi lain untuk mematuhi hukum atau menghadapi konsekuensi finansial yang berat.

Perhitungan Kerugian Negara (BPKP dan UGM):

Total kerugian negara sebesar Rp 11.880.351.802.619 secara resmi dihitung oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan ahli dari Universitas Gadjah Mada (UGM). Keterlibatan BPKP sebagai lembaga audit negara dan UGM sebagai institusi akademik independen dalam perhitungan kerugian negara memberikan legitimasi dan objektivitas yang tinggi terhadap angka yang fantastis tersebut. Perhitungan ini mencakup tiga komponen utama: kerugian keuangan negara,

illegal gain (keuntungan ilegal yang diperoleh pelaku), dan kerugian perekonomian negara (dampak lebih luas pada ekonomi). Pendekatan yang mencakup “illegal gain” dan “kerugian perekonomian negara” menunjukkan pemahaman yang mendalam tentang dampak korupsi yang melampaui sekadar uang yang dicuri, mencakup distorsi pasar dan kerugian sosial-ekonomi. Perhitungan kerugian negara yang komprehensif oleh lembaga independen dan ahli menunjukkan standar rigor metodologis yang tinggi dalam mengukur dampak penuh korupsi. Metodologi ini penting untuk memastikan bahwa hukuman finansial mencerminkan kerusakan total yang ditimbulkan oleh korupsi, dan dapat menjadi model bagi kasus-kasip korupsi di masa depan untuk memastikan pemulihan kerugian yang lebih akurat dan adil.

Tujuan Penyitaan dalam Proses Kasasi:

Uang yang dikembalikan oleh Wilmar Group ini langsung disita oleh penyidik dan dimasukkan ke dalam rekening penampungan Jampidsus. Penyitaan ini secara strategis menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari memori kasasi Kejagung. Tujuan utamanya adalah agar keberadaan uang tersebut dapat dipertimbangkan secara kuat oleh Hakim Agung yang memeriksa kasasi, khususnya agar uang tersebut dapat dikompensasikan untuk membayar seluruh kerugian negara yang ditimbulkan akibat perbuatan korupsi para terdakwa korporasi. Tindakan Kejaksaan Agung untuk menyita uang sebelum putusan akhir Mahkamah Agung dan secara eksplisit menyatakan tujuannya untuk memperkuat kasasi menunjukkan strategi hukum yang proaktif dan canggih. Ini bertujuan untuk menekan Mahkamah Agung agar mempertimbangkan pemulihan aset sebagai bagian integral dari keadilan, dan untuk mengatasi kelemahan yang mungkin timbul dari vonis

ontslag sebelumnya. Kejagung berharap penyitaan uang ini akan secara signifikan memperkuat kasus penuntutan di tingkat kasasi, terutama setelah vonis ontslag sebelumnya. Penyitaan dana ini adalah langkah strategis Kejagung untuk memastikan pemulihan kerugian negara dan memperkuat posisi hukumnya dalam upaya kasasi, menekankan pentingnya akuntabilitas finansial. Ini dapat menjadi preseden yang kuat untuk strategi pemulihan aset di Indonesia, menunjukkan bahwa penegak hukum akan secara agresif mengejar pengembalian dana dari korupsi, bahkan jika ada putusan pengadilan yang kontroversial.

 

Tabel 3: Rincian Kerugian Negara dan Uang Pengganti/Sitaan dari Korporasi Terdakwa

 

Korporasi/Grup Anak Perusahaan (Wilmar) Jumlah Uang Pengganti/Sitaan (Tuntutan JPU/Sitaan Kejagung)
Wilmar Group PT Multimas Nabati Asahan Rp 3.997.042.917.832,42
PT Multi Nabati Sulawesi Rp 39.756.429.964,94
PT Sinar Alam Permai Rp 483.961.045.417,33
PT Wilmar Bioenergi Indonesia Rp 57.303.038.077,64
PT Wilmar Nabati Indonesia Rp 7.302.288.371.326,78
Total Wilmar Group Rp 11.880.351.802.619
Permata Hijau Group Rp 937.558.181.691,26
Musim Mas Group Rp 4.890.938.943.794,10

 

Kasus korupsi ekspor CPO yang melibatkan Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group merupakan salah satu skandal ekonomi terbesar dalam sejarah Indonesia, dengan kerugian negara yang dihitung secara komprehensif mencapai Rp 11,8 triliun dari Wilmar Group saja. Kasus ini terjadi pada periode krusial saat pemerintah berupaya menstabilkan harga minyak goreng domestik melalui kebijakan larangan ekspor, namun justru kebijakan tersebut dieksploitasi melalui manipulasi kewajiban DMO.

Investigasi Kejaksaan Agung telah mengungkap jaringan korupsi multi-lapisan yang melibatkan eksekutif korporasi, kuasa hukum, dan yang paling mengkhawatirkan, aparat peradilan. Vonis “ontslag” yang kontroversial di tingkat pertama, diikuti dengan penangkapan hakim yang diduga menerima suap Rp 60 miliar, menunjukkan adanya upaya sistematis untuk menyubversifkan proses hukum demi keuntungan ilegal. Ini merupakan indikasi serius terhadap integritas sistem peradilan dan tata kelola pemerintahan secara keseluruhan.

Penyitaan uang sebesar Rp 11,8 triliun dari Wilmar Group, yang merupakan pengembalian dana kerugian negara, adalah langkah signifikan yang menunjukkan komitmen Kejaksaan Agung dalam pemulihan aset dan penegakan hukum. Tindakan ini, yang juga dimasukkan sebagai bagian dari memori kasasi di Mahkamah Agung, memperkuat posisi hukum negara dan diharapkan dapat menjadi preseden penting bagi akuntabilitas korporasi di masa depan. Meskipun Wilmar Group mengklaim tidak bersalah, pengembalian dana ini mencerminkan tekanan hukum yang intens dan potensi konsekuensi yang lebih berat jika tidak ada itikad baik.

Kasus ini secara keseluruhan menyoroti kerentanan kebijakan ekonomi strategis terhadap praktik korupsi, perlunya pengawasan yang lebih ketat terhadap konglomerasi besar, dan mendesaknya reformasi yudisial untuk menjaga independensi dan integritas peradilan. Keberhasilan penyitaan ini tidak hanya sekadar pemulihan finansial, tetapi juga sebuah pernyataan kuat bahwa negara serius dalam memberantas korupsi, bahkan di level tertinggi yang melibatkan korporasi raksasa dan aparat penegak hukum.*

 

Editor : Tim Investigasi data

Berita Terkait

DPRD Gresik Dukung Zero ODOL, Usulkan Regulasi Tarif Jasa Angkut
Curi Motor di Menganti, Pemuda Sidoarjo Ditangkap Polisi
Info Grafis 100 Hari kepemimpinan Yani-Alif
Kontingen KKG PAI Wringinanom Siap Berjuang di Pentas PAI Gresik 2025
Pemuda Muhammadiyah Gresik Tanggap Banjir di Tiga Kecamatan: Balongpanggang, Benjeng, dan Cerme
Analisis Kinerja Ekonomi dan Ketenagakerjaan Kabupaten Gresik 2023-2025
Spemutu Gelar Seminar Penguatan Manajemen Keuangan Keluarga, Jadikan Anak sebagai Investasi Orang Tua
Perdana Tampil di PENTAS PAI 2025, SD Muhammadiyah 1 Driyorejo Sabet 3 Juara

Berita Terkait

Rabu, 18 Juni 2025 - 20:31 WIB

DPRD Gresik Dukung Zero ODOL, Usulkan Regulasi Tarif Jasa Angkut

Rabu, 18 Juni 2025 - 16:38 WIB

Mengungkap Jaringan Korupsi Ekspor CPO Wilmar Group dan Penyitaan Uang Rp 11,8 Triliun

Rabu, 18 Juni 2025 - 02:30 WIB

Curi Motor di Menganti, Pemuda Sidoarjo Ditangkap Polisi

Selasa, 17 Juni 2025 - 08:29 WIB

Info Grafis 100 Hari kepemimpinan Yani-Alif

Sabtu, 14 Juni 2025 - 08:25 WIB

Pemuda Muhammadiyah Gresik Tanggap Banjir di Tiga Kecamatan: Balongpanggang, Benjeng, dan Cerme

Berita Terbaru

Gresik

Curi Motor di Menganti, Pemuda Sidoarjo Ditangkap Polisi

Rabu, 18 Jun 2025 - 02:30 WIB

Gresik

Info Grafis 100 Hari kepemimpinan Yani-Alif

Selasa, 17 Jun 2025 - 08:29 WIB